Rabu, 09 April 2014

Tanpa Judul



Bagian I 

Kau menunduk, mengamati ujung sepatumu, barang kali kau berharap kedua matamu bisa menembus isi sepatumu, dan akhirnya kau bisa melihat ujung jemari kakimu. Cukup lama kau tertunduk dan matamu hanya tertuju pada ujung sepatumu saja, tidak yang lain. Sepatu berwarna hitam pemberian seseorang, tapi kali ini kau masih tidak ingin mengingat nama Si Pemberi itu, kan?

Kau pun mendengar irama detak jantungmu yang beradu dengan naik turunnya diagfragma dadamu. Yah...nafasmu tersengal, terengah-engah kau benapas. Tetapi, kau pribadi yang sangat tenang. Kali ini kau pejamkan kedua matamu, kau tidak lagi menunduk. sambil mendengar irama jantungmu yang tidak beraturan, juga nafasmu yang tersengal, kau berusaha untuk memulai menentramkan hatimu yang perih. Sekarang kau biarkan angin menerpa seluruh permukaan kulitmu, yah..meski kau tau, kau akan gampang sekali masuk angin. Sekarang tubuhmu pun semakin rapuh. Seperti hari ini, rapuh, katamu!.

Kau berharap ada angin yang mampu menembus melalu celah pori-porimu, menerobos di setiap lapisan kulitmu, dan akhirnya menyeruap ke jantungmu, mendinginkan semua amarah yang masih..masih..sedang berusaha untuk kau tahan.

Lama kau berdiri memejamkan matamu, ketika detak jantungmu tidak lagi beraturan, kau membuka kedua matamu. Terpaan angin yang kencang juga butir-butir debu merambah matamu, ada pula yang berhasil lolos memasuki jalur pernapasanmu.

Sekarang kau memilih duduk, menyandarkan bahumu pada tubir dinding, kau biarkan kakimu terjulur. Kau goyangkan kedua kakimu tak beraturan, berusaha mengikuti irama jantungmu, kau berharap kepalamu tidak mengajak mengingat apa saja yang sudah kau alamai beberapa menit yang lalu di ruang itu, ketika kau berjumpa para petinggi itu, yang sekarang pun kau berusaha melupakan mereka, sedang berusaha, tapi haruskan di lupakan?. Kau berharap memorimu, atau kau memaksa memorimu tidak mengingat mereka lagi. Apa kau berharap untuk bagian ini!

Kau sebenanya ingin di puncak gunung sekarang, memandang luas awan, juga hijau yang membentang, udara dingin yang segar dan tentunya Senja yang selalu menawan, begitu, kan? Tapi sayangnya kau tidak sedang di puncak gunung, kau sedang di atas gedung, di puncak tertingginya. yang entah karena apa kau memutuskan berlari sekencang-kencangnya mendaki tiap anak tangga yang kau lewati, akhirnya napasmu pun tesengal, tak beraturan.

Semua sudah hancur sekarang, dan..air bening yang bermukim di kelopak matamu pun mulai meluncur, pelan-pelan mengairi kedua pipimu, seperti parit kecil. tapi kau tidak merasakannya.

Lagi-lagi kau bilang, semua sudah hancur sekarang, ada rasa sakit yang tak bisa kau jelaskan yang dari mana datangnya, yang kau sadari semua yang kau bangun sudah hancur, kau menganggapnya demikian, hancur, tidak bersisa dan air matapun turut serta mendramatisasi semua.

Tetapi, tunggu..bukannya kau masih punya sedikit kebahagiaan? benar tidak? hanya sedikit sih..yahh..kau masih punya, meskipun sedikit bukannya kau sangat..sangat sekali menyukainya? dan kau bilang sudah cukup.

Kau sudah bisa tersenyum sekarang, bola pijar yang menemanimu berjalan, sudah mulai menggelinding ke barat, kesadaranmu sudah mulai pulih, bukan lagi sakit, bukan lagi sesak, atau hancur yang kau bilang dari tadi.

kau melihatnya, kan? Si Senjamu itu sudah datang, yang entah karena apa, atau sejak kapan, kau selalu menyukainya, sangat! Kau suka Jingganya yang menyeruak di barisan awan, suka sekali.

Kau mulai tersenyum sekarang, mulai mengatur nafasmu yang satu-satu, mulai merasakan dingin yang menyeruap di pori-porimu.Kau memandang Senjamu, yang entah sejak kapan kau selalu bilang, bahwa menatap Senja selalu membuatmu nyaman, tenang dan damai, makanya kadang kau rela menjelajahi se-isi kota, bahkan mengunjungi tempat-tempat yang jauh dan melelahkan hanya demi melihat Si Bola Pijar, dan katamu lelahmu akan terbayar lunas, demi dia. Pada bagian itu, aku tak mengerti kenapa kau sebegitunya menyukai Senja.

Kau selalu bilang, kalau kau sangat menyukai Si Bola Pijar itu, Matahari. Katamu, kau belajar banyak sekali dari dia. Bahwa hidup, seperti kau yakini, adalah Bumi yang harus kau perjuangkan sendiri, bukan dari warisan, harta, atau hal busuk lainnya.

Seperti yang kau lihat pada diri Matahari, dalam berotasinya dia selalu sendirian di Langit, tapi diperjalannya dia jumpai banyak hal, awan yang putih, abu-abu, hitam pekat dan yang lainnya, dia jadi saksi atas banyak hal dari sana.

Dia selalu menepati janji. Tak pernah ingkar untuk terbit, meski satu menit, 10 detik, atau 1 detik pun dia selalu datang tepat waktu. Padahal bisa saja dia iseng untuk datang terlambat, misalnya dia terlambat terbit 3 Jam, maka dunia akan bingung, tak tau harus mencarinya kemana di semesta-Nya yang luas. 

Dia tepat janji, tak pernah ingkar, sejak kau menyadari itu, kau berusaha mengaplikasikannya di Bumimu, di Hidupmu, apapun yang berkaitan dengan janji atau hal-hal tertentu, kau selalu menepatinya. Kecuali butir demi butir obat yang harus kau minum tiap hari yang sudah kau janjikan dengan doktermu, kadang atau sering? kau melewatinya, tidak menepatinya. kau mulai bosan minum obat. tapi, kita tidak sedang membahas obat demi obat kan?

Katamu, perjalanan Matahari itu seperti perlanan Hidup, kau suka menyebutnya Bumi. Kita harus memulainya dari bawah, seperti Matahari saat terbit. Setelah berjalan, kita akan berada di puncak tertinggi, seperti saat kita kepanasan di tengah hari yang terik. Aku masih ingat itu, tanpa ba-bi-bu, kau memaksaku mendongakkan kepala ke Langit di saat Matahari sedang terik-teriknya. Syukurnya kau memintaku memandang dari balik rimbun dedaunan, yang saat itu kita sedang berteduh sambil minum es campur di kedai biasa. Aku tidak mengerti seleramu, dari sekian pilihan buah atau agar-agar warna-warni kau hanya meminta rumput laut hijau itu dan semangka yang memenuhi mangkukmu. Dan kau menikmatinya dengan gembira. Kau selalu pandai bersyukur, ya!

Lalu kau akan bercerita panjang dan lebar, yang pelan-pelan aku mulai membenarkan apa yang kau ceritakan dan ternyata aku menyukainya. “Li, dengarkan aku” ucapmu sambil terus memasukkan rumput laut ke dalam mulutmu. Kau tak langsung mengunyahnya, tapi kau diamkan selang beberapa detik, kau telan airnya, lalu kau kunyah perlahan, pipi kananmu akan menggembung dengan rumput laut, dan kemudian kau bicara.

“Aku sekarang seperti dia”, kau menunjuk bola pijar itu, aku mengikuti arah telunjukmu, kemudian kau diam…

Senin, 24 Juni 2013

Coret-coret 2

Mat, Bola pijar  di Langit kota kecil kita sedang tersenyum ceria hari ini, sebut saja hari ini sedang terik-teriknya. Panass cekali..


kalau kau muter-muter setengah jam saja pake motor, bisa kering. Tapi bukan kah kita harus senantiasa bersyukur atas apa yang kita dapati hari ini. Karena bisa saja hujan tiba-tiba mengengok kita tanpa kata, tanpa memberi tanda.

Di kota kecil kita ini cuaca bisa berubah kapan saja. Sekarang
sedang terik-teriknya, bisa jadi sore atau malam hujan sederas-derasnya dan keesokan harinya kita akan mengeluh lagi ternya setiap ruas jalan digenangi air dan akan bertambah tinggi karena bulan sedang Purnama, Mahakam pasang. Kapan kita berhenti mengeluh ya, Mat?

Hari ini seharusnya aku giat mencari bahan, mengunjungi dosen biar skripsinya rampung dan selesai dengan damai, aku cuma punya waktu dua minggu saja. sayangnya setelah mencoba membaca lebih serius, ehhh, malesnya makin menjadi..
maafin aku ya, Mat..
(sudah berapa banyak aku minta maaf yok?)

Belakangan ini, aku sering sekali mengeluh letih, lelah, dan kata-kata sejenisnya. Seharusnya tidak seperti itu kan, teman?
boleh berlelah-lelah atau berletih-letih, tapi tidak boleh keterusan letihnya...

Mat, Kemarin, sekolah buat buku tahunan untuk kelulusan anak-anak. kami para pendidiknya harus turut serta menulis biodata biar dikenang sama anak murid kami. Ada form yang harus diisi, salah satunya adalah cita-cita. Ternyata, aku jadi bingung harus menulis apa di situ. Mungkin kalau dulu ditanya gitu aku jawab "saya ingin menjadi guru" obsesi yang aku pelihara sejak kelas tiga SD, bahwa saya ingin menjadi guru.Sekarang kalau boleh dibilang meskipun belum dilegalisasi, aku sudah mengakrabi papan tulis, Mat..
Akhirnya setelah merenung panjang lebar aku tulis seperti ini, Mat!

"cita-cita:  menjadi pelukis profesional yang bisa melukis senyum di wajah orang-orang"

itu cita-cita ku, Mat. Temenku yang bertanggung jawab atas terbitnya buku tahunan itu terpana sama tulisan itu. He he he..
aku suka melihat orang-orang di sekitarku tersenyum, itu penting , Mat..

Aku masih mau terus hidup, Mat
Masih mau menggumu terbit, berjalan bareng kamu, juga nemeni kamu terbenam..
Berpijarlah selalu kawan, kau di Langit, aku di Bumi..

Kangen ama Hujan, Mat..
salam ya..





#di 24 Juni 2013
estafet perjuangan itu akan terus berlanjut, sampai titik penghabisan
sampai benar-benar harus berhenti..

Selasa, 26 Maret 2013

coret-coret 1

Hari ini, aku lagi galau, Mat!
he he he..
tapi aku bertekad buat jauh lebih baik lagi, jauh lebih tangguh, apalagi harus berderai air mata buat urusan yang tidak penting. Selama ini, aku sudah cukup akrab dengan segala bentuk penghianatan-penghianatan...(ecieee..ecieee...kelihatan galaunya kan? gak..gak...gak...) 

Sebenarnya, aku masih menganggap hidupku ini damai-damai aja, Mat! tapi sayangnya kayak pelajaran PKn dulu, kita ini makhluk sosial yang gak hidup sendirian di hutan, tapi dikelilingi banyak manusia yang kata Darwin turunan monyet. Kedamaianku itu sangat-sangattt sekali menggelisahkan buat orang-orang disampingku.

Jadi aku hidup sebenarnya buat apa dan siapa yok??..Nah...yang begitu mah gak perlu dipikirin panjang kali lebar kan, Mat! yang harus dilakukan adalah menyelesaikan semuanya dengan baik sekali. Aminnn...

Dan yang terpenting adalah Langit membiarkan aku terus bernafas, sampai semua urusanku selesai, meski gak akan pernah selesai, cause matipun kita masih punya urusan sama Langit. ya, gak?

Ada satu dialog yang terus menggema di sini, Mat (sambil nunjuk jantung he he he), dan akan terus aku ingat. selama ini rasanya, kita berulang kali ada di titik demi titik yang mengkhawatirkan, tapi toh akhirnya bisa juga kan? Terus berpikir positif seperti biasanya, meski kenyataan sebaliknya. Aku pikir, hidup itu bukan soal aturan yang dibikin orang-orang, nahh..sayangnya aku belum punya negeri sendiri, jadi musti legowo kan?



Aku akan terus hidup, Mat...
Mati, itu artinya aku menghianatimu...


Senin, 21 Januari 2013

Coretan kesekian....


BUNGA, 1
 
Oleh : Sapardi Djoko Damono

(i)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padangwaktu hening pagi terbit;
siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak
terbang berputar-putar di atas padang itu;
malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, "Takut? Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku
ini si bunga rumput, pilihan dewata!"

(ii)
Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.

Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi,
dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua
itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangm
dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan
hutan terbakar dan setelah api ....

Teriaknya, "Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para
manusia! Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!"

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



BUNGA, 2

Oleh : Sapardi Djoko Damono

mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik
taman memetiknya hari ini; tak ada alasan kenapa ia ingin berkata
jangan sebab toh wanita itu tak mengenal isaratnya -- tak ada
alasan untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin
menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu
kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya
selembar demi selembar dan membiarkannya berjatuhan
menjelma
pendar-pendar di permukaan kolam

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

BUNGA, 3
Oleh : Sapardi Djoko Damono

seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat
ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu
tak ada sahutan
seuntai kuntum melati itu sudah kering: wanginya mengeras di
empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika
terdengar ada yang memaksa membuka pintu
lalu terdengar seperti gema "hai, siapa gerangan yang telah
membawa pergi jasadku?"

Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.



.....................................

Hai, selamat Malam...

Kau bisa lihat Orion di Langit malam hari ini? aku mau cerita banyak, tetapi aku harus segera pergi..
aku kembali besok ya! Semoga kita semua selalu dinaungi Langit dalam damai, di setiap lelap. Di Bumi manapun kita memijakkan kaki, aku berdoa Dia selalu menjaga kita dengan sebaik-baiknya penjagaan-Nya.

Lelah itu sudah jadi hal yang lumrah buat Manusia, tapi meski kita lelah kita bukanlah pribadi yang lemah, kan?


Kalau hujan berkunjung lagi di kotamu, aku titip salam ya, aku sangatt rindu sama hujan...

Tau tidak aku suka hujan yang datang kapan pun, yang paling seru kalau hujannya datang pagi-pagi, yang paling menenangkan kalau hujannya mau menengok malam hari, trus aku bisa pandangi sepuasnya rinainya yang membias tertimpa cahaya lampu-lampu..Hujan itu...terlalu banyak tetes-tetes rindu. .


Jumat, 28 Desember 2012

Satu dongeng..


Pada suatu hari, di sebuah sudut taman duniawi, ada serumpun bunga Matahari, bunga Mawar, bunga Melati, bunga Bangkai, dan bunga Dandelion.

Bunga-bunga itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Mereka terlonjak oleh kejutan si embun nakal tapi menyejukkan. Bulir-bulir gutasi seperti kristal yang terpatri di helaian jubah daun membuat mereka semakin anggun diterpa sang surya yang perlahan mulai menjagad.

Mereka semua tersenyum menyambut pagi, tersenyum dengan cara mereka masing-masing.

Bunga Matahari tersenyum dengan sangat lebar. Aku tak mengerti mengapa ia selalu tersenyum selebar itu, sampai-sampai aku khawatir bibirnya akan mencuat keluar dari wajahnya. Kenapa ia seceria itu? Apa karena Ia kuning? Atau karena Ia besar dan tinggi? Apa karena Ia bangga disebut-sebut sebagai  matahari, si raja galaksi? Namun, Ia digemari oleh manusia karena bisa menghasilkan biji-biji yang enak dan gurih. Makhluk-makhluk pengerat pun sangat suka bersahabat dengannya. Mereka sering memanjati batangnya, bergelantungan di daunnya, dan bercanda dengan biji-biji gurihnya sampai kekenyangan. Keramahan dan kedermawanan bunga Matahari membuat koloninya tidak pernah sepi. Disana, selalu ramai dengan kicauan burung, cekikikan hamster, tarian semut, dan segala jenis keceriaan lainnya yang membuat mereka terlihat semakin kuning. Oh, pantas saja…mungkin Ia tersenyum seperti itu karena Ia berguna.

 Bunga mawar…ya, bunga ini tersenyum. Tapi senyumnya asimetris. Maksudku…sudut bibirnya hanya diangkat sebelah, namun sudut lainnya tidak. Singkat kata, tersenyum  angkuh. Aku juga tidak mengerti mengapa Ia sesombong itu, dia pikir dia siapa? Oke, dia sangat cantik, secara bunga Ia sangat proporsional, mahkotanya begitu menggoda, warna merahnya sangat elegan - dan tidak kuning. Maksudku, tidak sekuning bunga matahari kalaupun warnanya kuning. Pokoknya warnanya elegan. Lantas apa? Apa yang membuatnya Ia begitu angkuh? Apa karena Ia selalu disemayamkan di jambangan mahal orang-orang kaya? Apa karena Ia selalu berkelimpahan kasih sayang oleh tuan yang menanamnya? Apa karena Ia suka dipakai para putri kerajaan untuk mandi bunga? Atau karena Ia suka ikut andil di dalam cerita negeri dongeng? Menurutku bukan. Tidak sepantasnya hanya dengan bermodalkan kecantikan dan kemewahan lantas kau bisa sombong. Pasti ada alasan lain… tunggu dulu! Aku yakin, pasti Ia mempunyai sesuatu yang tidak dimiliki oleh bunga-bunga lain.
Ya, duri!! Ia sombong karena Ia bisa melindungi dirinya sendiri. Ia kuat, berdaulat dan terhormat. Duri itu ibarat pagar imajiner yang menciptakan ruang teritorialitas yang tidak dapat dimasuki oleh siapa pun. Tidak semua orang dapat memilikinya. Itu lah bedanya Ia dengan bunga-bunga cantik lainnya…setidaknya Ia tidak terkesan murahan.

Lalu…bunga melati, Ia tersenyum samar. Senyumnya nyaris tidak terlihat. Tapi Ia wangi. Tak apalah bila Ia tidak ingin tersenyum, toh Ia sudah wangi. Walaupun Ia tidak besar, tidak mencolok, dan tidak berwarna, tapi ia selalu tahu bagaimana caranya untuk mengundang para kumbang bahkan manusia sekalipun. Ia seperti malaikat yang begitu polos, begitu manis, tak berdosa, bahkan kau akan sering menemukannya terangkai indah sebagai mahkota ibu suri, atau tersemat di rambut para puteri, atau melilit-lilit di gaun pengantin. Kelakuan bunga Melati yang nrimo dan pasrah ini kadang membuat dirinya tertekan, tapi ia harus mempertahankan adat yang turun temurun telah diwarisi oleh nenek moyang kerajaan Melati. Para bunga Melati didoktrin untuk bersikap layaknya bunga sejati. Nenek moyang bunga Melati tidak mengajarkan untuk beraspirasi, itulah sebabnya para bunga ini begitu pendiam.
Aku akan memberi tahu suatu rahasia kepadamu, sebenarnya di balik tuntutan adat kramat itu, diam-diam bunga ini senantiasa bernyanyi lirih. Tapi sayang, kebanyakan lebah-lebah bajingan itu lebih suka mendengung daripada didengungkan. Tapi betapa pun muaknya sang Melati dengan kelakuan mereka, terkadang kenaifan adalah kekuatannya. Bagaimana pun, aku sangat salut dengan kesabaran bunga-bunga ini yang terkekang oleh tali-temali doktrin.

Bunga bangkai? Ia tersenyum genit.
Di kalangan para bunga, bunga Bangkai mempunyai status sosial yang kurang baik. Kenapa? karena sesuai dengan namanya, bunga Bangkai memiliki bau luar biasa seperti bangkai yang telah membusuk sehingga para bunga berpikir bahwa si bunga Bangkai telah menodai eksistensi bunga yang senantiasa dikaitkan dengan keharuman dan simbol cinta. Namun di lain sisi, para bunga Bangkai ini memang tinggi, besar, mencolok, dan langka. Tidak heran Ia sangat diburu oleh para kumbang dan sejenisnya, tapi aku tidak yakin apakah bunga itu diburu karena bentuk fisiknya yang emphasis atau karena kebergunaannya.
Lagi-lagi si bunga Bangkai tersenyum genit. Ia melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian para lalat penyerbuk. Aku pikir, sepertinya bunga bangkai itu hanya bagus untuk dilihat, tapi tidak untuk didekati…karena kumbang, lebah, bahkan lalat yang sekalipun gemar dengan hal-hal yang bau ketika mencoba mendekati, melulu terperangkap lalu terperosok ke lendir beracun itu hingga mati karena baunya. Namun aku heran, tidak peduli berapa banyak korban yang berjatuhan, sepertinya kumbang, lebah, dan lalat...mereka tidak jera-jeranya datang mendekati bunga bangkai seolah-olah sengaja untuk “menikmati bau”nya.

Bagaimana dengan bunga dandelion? Si bunga rumput itu…Ia tidak tersenyum, melainkan tertawa terbahak-bahak. Mungkin bagi para melati, hal ‘tidak pantas’ dan tidak berperi-kebungaan. Tapi siapa peduli? Para bunga dandelion itu sangat menikmati cara mereka tertawa, tergelak, dan berteriak "yuhuuuuuu!" ketika anak-anak iseng meniup kelopak mereka yang ringan, menceraiberaikan serpihan-serpihan putih dan menggundulkan putik mereka, lalu bulu-bulu putih itu menari dengan angin, mereka tidak akan pernah berhenti menari sebelum menemukan rintangan yang dapat memberhentikan tarian itu, mereka menikmati kemana angin berhembus walaupun mereka tak tahu kemana mereka akan dibawa pergi. Dan ketika mereka mendarat di tanah, mereka akan menjadi pionir bak lychenes yang mempelopori suksesi kehidupan, mereka akan membentuk koloni baru disana, dan terbukti mereka mempunyai mental baja karena mereka dapat beradaptasi di kondisi yang ekstrem sekalipun.
Tahukah kau darimana para dandelion itu berasal? Mereka tumbuh pertama kali di daratan Eropa dan Asia, tapi kini kau bisa melihat mereka bertebaran dimana-mana di penjuru bumi manapun, itu karena mereka bisa terbang melintasi apapun, bahkan jeram samudra sekalipun.
Ditengah semerbak persaingan para bunga mengeluarkan aroma wanginya dan kemilau warna-warni kelopaknya yang membelai mata, munculah para dandelion dengan segala kesederhanaannya di semak dan perdu liar.
Mereka tak keberatan jika teman-teman mereka yang lain diambil dan ditaruh di jambangan-jambangan mahal seperti si mawar yang elegan itu. Mereka tidak mau menukar kebebasan mereka, tarian angin mereka, atau bahkan takdir hidup yang  menggariskan mereka untuk mencari segala sesuatunya dari alam sendirian, karena sampai detik ini pun, mana ada manusia bodoh yang akan memberi mereka pupuk, vitamin, atau pestisida yang baik untuk tumbuh kembang mereka, melainkan mereka harus mencari itu semua langsung dari alam - sendirian. Mereka tidak akan mau menukar itu semua dengan menghabiskan sisa hidup mereka di jambangan mahal sekalipun.
Bunga dandelion tidak wangi tapi mereka punya kecantikan tersendiri.
Kini, bunga-bunga itu… Matahari, Mawar , Melati, bunga Bangkai dan Dandelion tengah bercengkrama menikmati hari. Walaupun mereka punya skenario hidup masing-masing, namun hanya diri mereka sendiri yang dapat menentukan senyuman macam apa yang akan mereka sunggingkan.
***

Anak itu mendengarkan cerita negeri para bunga dengan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Tapi matanya tak berkedip, seolah menunggu kata demi kata yang dilantunkan kakaknya.
“Kau tahu, pahlawan itu tidak harus melulu berperang melawan penjajah imperialisme atau melawan monster menjijikan untuk menyelamatkan seluruh penduduk bumi…jika kau tidak bisa seheroik itu, tak apa, tapi setidaknya, kau harus bisa menjadi pahlawan bagi dirimu sendiri. Selamatkan hidupmu, dik. Dalam kondisi sesulit apa pun, se-ekstrim apapun, kita harus selalu bisa bertahan! Seperti para bunga dandelion ini…” Sang kakak menggenggam sekuntum bunga dandelion, perlahan Ia meniupkan angin dengan sangat lembut, menceraiberaikan bola putih itu menjadi serpihan salju yang lantas menari dengan angin. Mereka berdua menyaksikan serpihan itu yang terbang kian menjauh, keluar dari gerbong kereta lapuk yang sudah bertahun-tahun tidak pernah digunakan, itu lah tempat mereka bernaung selama ini. Di luar hujan sangat deras, namun tidak mampu menjernihkan udara yang terkontaminasi kepul asap hitam. Deras hujan menghantam-hantam atap besi gerbong karatan, tidak mampu meredam bunyi desingan senjata api yang meletup-letup tiada akhir. Mesin-mesin penghancur berderu-deru meratakan seluruh bangunan yang ada satu kilometer dari tempat dimana mereka bernaung.
Di sebelah pelantun dongeng bunga itu, terbaring tubuh mungil tak bertenaga. Kakinya terkulai lemah, sedangkan kedua tangannya sedari tadi memegangi perutnya yang membusung. Matanya masih tidak berkedip memikirkan dongeng yang baru saja berakhir. Dongeng pengantar tidur itu sukses membuat ia menyunggingkan senyumnya.
Sore itu begitu senyap. Si adik kecil sudah tak bersuara selama dua hari ini. Ia harus menghemat tenaganya karena sudah lewat satu minggu Ia belum makan apa-apa. Peperangan membuat kota itu lumpuh dan rata, tidak menyisakan sedikit pun untuk diais-ais.
Sang kakak masih mengelus sayang rambut adiknya agar ia cepat terlelap melewati hari seperti ini satu kali lagi.
Perlahan adiknya terlelap. Namun kali ini begitu damai.
“Besok aku akan mencarikan makanan untukmu, dik. Bertahan lah…” Dadanya sesak menahan sedih, matanya memanas, satu tetes, dua tetes…
 Si adik tersenyum damai, untuk selamanya.
Kali ini, Ia tidak dapat menahan tangisnya yang memecah, lalu meradang tersedu-sedu.
***


http://gita-a44070022.blogspot.com/2011/03/senyuman-bunga-matahari-bunga-mawar.html#comment-form

Kamis, 27 Desember 2012

di permulaan....


Ayo kita nyalakan lilin,
kita bikin perayaan kecil,


kita rayakan bersama Semesta yang slalu setia memeluk kita,
bersama Langit yang setia memanyungi,
juga bersama Bumi yang ikhlas kita pijak,

Bersama siut Angin juga kerlip Bintang-Bintang,
 

benyanyi bersama alunan ringkik jangkrik,
dan tarian seribu kunang-kunang..



sekali lagi,
kita ini hanya makhluk kecil yang bukan apa-apa..
tapi kita adalah kepunyaan-Nya..



Terasa kita sudah cukup lama berjalan menggandeng waktu,
detik-demi detik seiring putaran jarum jam sudah dilewati,
menit demi menit,
jam demi jam,
hari demi hari,
minggu demi minggu,
bulan demi bulan,
dan cukuplah hari ini kita mengingat bukan mengenang,
esok adalah segala semua bermula,


Diiring berlalunya setiap waktu,
ada banyak kejutan-kejutan ternyata,
dan ketika kita kembali ke sana,
barangkali ada bagian yang sudah tidak lagi sama..



Terima kasih ya, 
untuk semuanya..







 
Happy Annyversary ya, Ran!








............................
28.12.11 & 28.12.12

Jumat, 21 Desember 2012

Catatan...

Pada setiap baris Hujan yang jatuh,
mengetuk detak sepiku!
senyummu pula menulis pada baris Hujan itu menjadi sebuah kalimat,
"aku rindu"....