Bagian
I
Kau
menunduk, mengamati ujung sepatumu, barang kali kau berharap kedua matamu bisa
menembus isi sepatumu, dan akhirnya kau bisa melihat ujung jemari kakimu. Cukup
lama kau tertunduk dan matamu hanya tertuju pada ujung sepatumu saja, tidak
yang lain. Sepatu berwarna hitam pemberian seseorang, tapi kali ini kau masih
tidak ingin mengingat nama Si Pemberi itu, kan?
Kau
pun mendengar irama detak jantungmu yang beradu dengan naik turunnya diagfragma
dadamu. Yah...nafasmu tersengal, terengah-engah kau benapas. Tetapi, kau
pribadi yang sangat tenang. Kali ini kau pejamkan kedua matamu, kau tidak lagi
menunduk. sambil mendengar irama jantungmu yang tidak beraturan, juga nafasmu
yang tersengal, kau berusaha untuk memulai menentramkan hatimu yang perih.
Sekarang kau biarkan angin menerpa seluruh permukaan kulitmu, yah..meski kau
tau, kau akan gampang sekali masuk angin. Sekarang tubuhmu pun semakin rapuh.
Seperti hari ini, rapuh, katamu!.
Kau
berharap ada angin yang mampu menembus melalu celah pori-porimu, menerobos di
setiap lapisan kulitmu, dan akhirnya menyeruap ke jantungmu, mendinginkan semua
amarah yang masih..masih..sedang berusaha untuk kau tahan.
Lama
kau berdiri memejamkan matamu, ketika detak jantungmu tidak lagi beraturan, kau
membuka kedua matamu. Terpaan angin yang kencang juga butir-butir debu merambah
matamu, ada pula yang berhasil lolos memasuki jalur pernapasanmu.
Sekarang
kau memilih duduk, menyandarkan bahumu pada tubir dinding, kau biarkan kakimu terjulur.
Kau goyangkan kedua kakimu tak beraturan, berusaha mengikuti irama jantungmu,
kau berharap kepalamu tidak mengajak mengingat apa saja yang sudah kau alamai
beberapa menit yang lalu di ruang itu, ketika kau berjumpa para petinggi itu,
yang sekarang pun kau berusaha melupakan mereka, sedang berusaha, tapi haruskan
di lupakan?. Kau berharap memorimu, atau kau memaksa memorimu tidak mengingat
mereka lagi. Apa kau berharap untuk bagian ini!
Kau
sebenanya ingin di puncak gunung sekarang, memandang luas awan, juga hijau yang
membentang, udara dingin yang segar dan tentunya Senja yang selalu menawan,
begitu, kan? Tapi sayangnya kau tidak sedang di puncak gunung, kau sedang di
atas gedung, di puncak tertingginya. yang entah karena apa kau memutuskan
berlari sekencang-kencangnya mendaki tiap anak tangga yang kau lewati, akhirnya
napasmu pun tesengal, tak beraturan.
Semua
sudah hancur sekarang, dan..air bening yang bermukim di kelopak matamu pun
mulai meluncur, pelan-pelan mengairi kedua pipimu, seperti parit kecil. tapi
kau tidak merasakannya.
Lagi-lagi
kau bilang, semua sudah hancur sekarang, ada rasa sakit yang tak bisa kau
jelaskan yang dari mana datangnya, yang kau sadari semua yang kau bangun sudah
hancur, kau menganggapnya demikian, hancur, tidak bersisa dan air matapun turut
serta mendramatisasi semua.
Tetapi,
tunggu..bukannya kau masih punya sedikit kebahagiaan? benar tidak? hanya
sedikit sih..yahh..kau masih punya, meskipun sedikit bukannya kau
sangat..sangat sekali menyukainya? dan kau bilang sudah cukup.
Kau
sudah bisa tersenyum sekarang, bola pijar yang menemanimu berjalan, sudah mulai
menggelinding ke barat, kesadaranmu sudah mulai pulih, bukan lagi sakit, bukan
lagi sesak, atau hancur yang kau bilang dari tadi.
kau
melihatnya, kan? Si Senjamu itu sudah datang, yang entah karena apa, atau sejak
kapan, kau selalu menyukainya, sangat! Kau suka Jingganya yang menyeruak di
barisan awan, suka sekali.
Kau
mulai tersenyum sekarang, mulai mengatur nafasmu yang satu-satu, mulai
merasakan dingin yang menyeruap di pori-porimu.Kau memandang Senjamu, yang
entah sejak kapan kau selalu bilang, bahwa menatap Senja selalu membuatmu
nyaman, tenang dan damai, makanya kadang kau rela menjelajahi se-isi kota,
bahkan mengunjungi tempat-tempat yang jauh dan melelahkan hanya demi melihat Si
Bola Pijar, dan katamu lelahmu akan terbayar lunas, demi dia. Pada bagian itu,
aku tak mengerti kenapa kau sebegitunya menyukai Senja.
Kau
selalu bilang, kalau kau sangat menyukai Si Bola Pijar itu, Matahari. Katamu,
kau belajar banyak sekali dari dia. Bahwa hidup, seperti kau yakini, adalah
Bumi yang harus kau perjuangkan sendiri, bukan dari warisan, harta, atau hal
busuk lainnya.
Seperti
yang kau lihat pada diri Matahari, dalam berotasinya dia selalu sendirian di
Langit, tapi diperjalannya dia jumpai banyak hal, awan yang putih, abu-abu,
hitam pekat dan yang lainnya, dia jadi saksi atas banyak hal dari sana.
Dia
selalu menepati janji. Tak pernah ingkar untuk terbit, meski satu menit, 10
detik, atau 1 detik pun dia selalu datang tepat waktu. Padahal bisa saja dia
iseng untuk datang terlambat, misalnya dia terlambat terbit 3 Jam, maka dunia
akan bingung, tak tau harus mencarinya kemana di semesta-Nya yang luas.
Dia
tepat janji, tak pernah ingkar, sejak kau menyadari itu, kau berusaha
mengaplikasikannya di Bumimu, di Hidupmu, apapun yang berkaitan dengan janji
atau hal-hal tertentu, kau selalu menepatinya. Kecuali butir demi butir obat
yang harus kau minum tiap hari yang sudah kau janjikan dengan doktermu, kadang atau
sering? kau melewatinya, tidak menepatinya. kau mulai bosan minum obat. tapi,
kita tidak sedang membahas obat demi obat kan?
Katamu,
perjalanan Matahari itu seperti perlanan Hidup, kau suka menyebutnya Bumi. Kita
harus memulainya dari bawah, seperti Matahari saat terbit. Setelah berjalan,
kita akan berada di puncak tertinggi, seperti saat kita kepanasan di tengah
hari yang terik. Aku masih ingat itu, tanpa ba-bi-bu, kau memaksaku mendongakkan
kepala ke Langit di saat Matahari sedang terik-teriknya. Syukurnya kau
memintaku memandang dari balik rimbun dedaunan, yang saat itu kita sedang
berteduh sambil minum es campur di kedai biasa. Aku tidak mengerti seleramu,
dari sekian pilihan buah atau agar-agar warna-warni kau hanya meminta rumput
laut hijau itu dan semangka yang memenuhi mangkukmu. Dan kau menikmatinya
dengan gembira. Kau selalu pandai bersyukur, ya!
Lalu
kau akan bercerita panjang dan lebar, yang pelan-pelan aku mulai membenarkan
apa yang kau ceritakan dan ternyata aku menyukainya. “Li, dengarkan aku” ucapmu
sambil terus memasukkan rumput laut ke dalam mulutmu. Kau tak langsung
mengunyahnya, tapi kau diamkan selang beberapa detik, kau telan airnya, lalu
kau kunyah perlahan, pipi kananmu akan menggembung dengan rumput laut, dan
kemudian kau bicara.
“Aku
sekarang seperti dia”, kau menunjuk bola pijar itu, aku mengikuti arah
telunjukmu, kemudian kau diam…