Rabu, 09 April 2014

Tanpa Judul



Bagian I 

Kau menunduk, mengamati ujung sepatumu, barang kali kau berharap kedua matamu bisa menembus isi sepatumu, dan akhirnya kau bisa melihat ujung jemari kakimu. Cukup lama kau tertunduk dan matamu hanya tertuju pada ujung sepatumu saja, tidak yang lain. Sepatu berwarna hitam pemberian seseorang, tapi kali ini kau masih tidak ingin mengingat nama Si Pemberi itu, kan?

Kau pun mendengar irama detak jantungmu yang beradu dengan naik turunnya diagfragma dadamu. Yah...nafasmu tersengal, terengah-engah kau benapas. Tetapi, kau pribadi yang sangat tenang. Kali ini kau pejamkan kedua matamu, kau tidak lagi menunduk. sambil mendengar irama jantungmu yang tidak beraturan, juga nafasmu yang tersengal, kau berusaha untuk memulai menentramkan hatimu yang perih. Sekarang kau biarkan angin menerpa seluruh permukaan kulitmu, yah..meski kau tau, kau akan gampang sekali masuk angin. Sekarang tubuhmu pun semakin rapuh. Seperti hari ini, rapuh, katamu!.

Kau berharap ada angin yang mampu menembus melalu celah pori-porimu, menerobos di setiap lapisan kulitmu, dan akhirnya menyeruap ke jantungmu, mendinginkan semua amarah yang masih..masih..sedang berusaha untuk kau tahan.

Lama kau berdiri memejamkan matamu, ketika detak jantungmu tidak lagi beraturan, kau membuka kedua matamu. Terpaan angin yang kencang juga butir-butir debu merambah matamu, ada pula yang berhasil lolos memasuki jalur pernapasanmu.

Sekarang kau memilih duduk, menyandarkan bahumu pada tubir dinding, kau biarkan kakimu terjulur. Kau goyangkan kedua kakimu tak beraturan, berusaha mengikuti irama jantungmu, kau berharap kepalamu tidak mengajak mengingat apa saja yang sudah kau alamai beberapa menit yang lalu di ruang itu, ketika kau berjumpa para petinggi itu, yang sekarang pun kau berusaha melupakan mereka, sedang berusaha, tapi haruskan di lupakan?. Kau berharap memorimu, atau kau memaksa memorimu tidak mengingat mereka lagi. Apa kau berharap untuk bagian ini!

Kau sebenanya ingin di puncak gunung sekarang, memandang luas awan, juga hijau yang membentang, udara dingin yang segar dan tentunya Senja yang selalu menawan, begitu, kan? Tapi sayangnya kau tidak sedang di puncak gunung, kau sedang di atas gedung, di puncak tertingginya. yang entah karena apa kau memutuskan berlari sekencang-kencangnya mendaki tiap anak tangga yang kau lewati, akhirnya napasmu pun tesengal, tak beraturan.

Semua sudah hancur sekarang, dan..air bening yang bermukim di kelopak matamu pun mulai meluncur, pelan-pelan mengairi kedua pipimu, seperti parit kecil. tapi kau tidak merasakannya.

Lagi-lagi kau bilang, semua sudah hancur sekarang, ada rasa sakit yang tak bisa kau jelaskan yang dari mana datangnya, yang kau sadari semua yang kau bangun sudah hancur, kau menganggapnya demikian, hancur, tidak bersisa dan air matapun turut serta mendramatisasi semua.

Tetapi, tunggu..bukannya kau masih punya sedikit kebahagiaan? benar tidak? hanya sedikit sih..yahh..kau masih punya, meskipun sedikit bukannya kau sangat..sangat sekali menyukainya? dan kau bilang sudah cukup.

Kau sudah bisa tersenyum sekarang, bola pijar yang menemanimu berjalan, sudah mulai menggelinding ke barat, kesadaranmu sudah mulai pulih, bukan lagi sakit, bukan lagi sesak, atau hancur yang kau bilang dari tadi.

kau melihatnya, kan? Si Senjamu itu sudah datang, yang entah karena apa, atau sejak kapan, kau selalu menyukainya, sangat! Kau suka Jingganya yang menyeruak di barisan awan, suka sekali.

Kau mulai tersenyum sekarang, mulai mengatur nafasmu yang satu-satu, mulai merasakan dingin yang menyeruap di pori-porimu.Kau memandang Senjamu, yang entah sejak kapan kau selalu bilang, bahwa menatap Senja selalu membuatmu nyaman, tenang dan damai, makanya kadang kau rela menjelajahi se-isi kota, bahkan mengunjungi tempat-tempat yang jauh dan melelahkan hanya demi melihat Si Bola Pijar, dan katamu lelahmu akan terbayar lunas, demi dia. Pada bagian itu, aku tak mengerti kenapa kau sebegitunya menyukai Senja.

Kau selalu bilang, kalau kau sangat menyukai Si Bola Pijar itu, Matahari. Katamu, kau belajar banyak sekali dari dia. Bahwa hidup, seperti kau yakini, adalah Bumi yang harus kau perjuangkan sendiri, bukan dari warisan, harta, atau hal busuk lainnya.

Seperti yang kau lihat pada diri Matahari, dalam berotasinya dia selalu sendirian di Langit, tapi diperjalannya dia jumpai banyak hal, awan yang putih, abu-abu, hitam pekat dan yang lainnya, dia jadi saksi atas banyak hal dari sana.

Dia selalu menepati janji. Tak pernah ingkar untuk terbit, meski satu menit, 10 detik, atau 1 detik pun dia selalu datang tepat waktu. Padahal bisa saja dia iseng untuk datang terlambat, misalnya dia terlambat terbit 3 Jam, maka dunia akan bingung, tak tau harus mencarinya kemana di semesta-Nya yang luas. 

Dia tepat janji, tak pernah ingkar, sejak kau menyadari itu, kau berusaha mengaplikasikannya di Bumimu, di Hidupmu, apapun yang berkaitan dengan janji atau hal-hal tertentu, kau selalu menepatinya. Kecuali butir demi butir obat yang harus kau minum tiap hari yang sudah kau janjikan dengan doktermu, kadang atau sering? kau melewatinya, tidak menepatinya. kau mulai bosan minum obat. tapi, kita tidak sedang membahas obat demi obat kan?

Katamu, perjalanan Matahari itu seperti perlanan Hidup, kau suka menyebutnya Bumi. Kita harus memulainya dari bawah, seperti Matahari saat terbit. Setelah berjalan, kita akan berada di puncak tertinggi, seperti saat kita kepanasan di tengah hari yang terik. Aku masih ingat itu, tanpa ba-bi-bu, kau memaksaku mendongakkan kepala ke Langit di saat Matahari sedang terik-teriknya. Syukurnya kau memintaku memandang dari balik rimbun dedaunan, yang saat itu kita sedang berteduh sambil minum es campur di kedai biasa. Aku tidak mengerti seleramu, dari sekian pilihan buah atau agar-agar warna-warni kau hanya meminta rumput laut hijau itu dan semangka yang memenuhi mangkukmu. Dan kau menikmatinya dengan gembira. Kau selalu pandai bersyukur, ya!

Lalu kau akan bercerita panjang dan lebar, yang pelan-pelan aku mulai membenarkan apa yang kau ceritakan dan ternyata aku menyukainya. “Li, dengarkan aku” ucapmu sambil terus memasukkan rumput laut ke dalam mulutmu. Kau tak langsung mengunyahnya, tapi kau diamkan selang beberapa detik, kau telan airnya, lalu kau kunyah perlahan, pipi kananmu akan menggembung dengan rumput laut, dan kemudian kau bicara.

“Aku sekarang seperti dia”, kau menunjuk bola pijar itu, aku mengikuti arah telunjukmu, kemudian kau diam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar