Selasa, 11 Desember 2012

Gie, Lilin, Aku dan Kamu


Haiii...
Selamat Malam, Kau baik-baik saja?
Tadi aku buka file-file kumpulan puisi yang aku punya, dan aku buka file khusus puisi-puisinya Soe Hok Gie. Aku jadi ingat kamu Ran. Tuh, kan slalu ada aja sesuatu yang bikin aku inget kamu. Aku takut, Ran! Kalau suatu hari nanti kamu pergi aku bisa gak buat gak ingat ama kamu, buat ngapus semua tentang kamu. Kayaknya...he he he...

Kamu ngefans sekali sama Gie kan? Kamu pernah bilang di tahun 98 masa paling suram negara ini, kamu ada di jajaran terdepan para mahasiswa itu, katamu memperjuangkan "rakyat jelata" pasti aku adalah salah satu yang kamu dan teman-temanmu perjuangkan itu. Iya, kan? Makasih ya..

Tau gak, di tahun 98 itu aku masih bocah ingusan yang suka maen di tengah hujan. Aku gak peduli urusan negara saat itu. Masa bocah itu harus dinikmati kan? Aku suka maen klereng ama temen-temen ku yang kebanyakan cowo, slalu jadi anak bawang waktu maen lompat tali. Trus suka ngejar layangan, maen bola, suka manjat pohon, sering digigit tawon, paling sering sakit tapi berobatnya nyampe puskesmas doang kok, jadi gak da bagus-bagusnya deh buat ukuran anak cewe. Makanya ibuku khawatir aku tidak akan berbentuk seperti cewe, he he he...tapi sekarang manis kan? setelah melalui proses yang panjang.

Yang aku tau saat itu, ayahku bilang sudah agak kesulitan buat membelikan buku buatku, harganya berkali-kali lipat. Aku mengerti, Aku diam...
Ada beberapa puisinya yang aku punya, barangkali kamu mau baca lagi..

                             

                                  ......

ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza

Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku.
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mendalawangi

ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra

tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu

mari, sini sayangku.
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati
padaku.
tegakklah ke langit luas atau awan yang mendung.
kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah
kehilangan apa-apa.

Nasib terbaik tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua

Berbahagialah mereka yang mati muda!
Makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu

(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)




.......
Mandalawangi – Pangrango


Senja ini, ketika matahari turun
kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu
dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara
tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan
menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian,
menghadapi yang tanda tanya
tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘terimalah dan hadapilah”

dan antara ransel-ransel kosong
dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu,
melampaui batas2 jurangmu

aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup



Jakarta 19-7-1966




.....


Sebuah Tanya


akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku

(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat

(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara
 tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata,
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam
 kulihat semuanya menjadi muram
 wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
seperti kabut pagi itu)

manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru

Selasa, 1 April 1969





                              
.....
Tau gak Ran, kamu itu seperti lilin. Yang bikin terang gelap tapi kadang kamu harus ngorbanin diri kamu sendiri. Selama kita ikhlas itu gak masalah.

Kadan dalam keseharian hidup kitapun, kita sering jadi lilin kan? mungkin kita ini kelewat baik ya? he he he..
tapi ada kebahagian tersendiri ketika kita bisa berbuat sesuatu buat orang-orang di sekitar kita meski akhirnya kita membakar diri kita sendiri.

Selama kita meyakini jalan yang kita pilih, apapun yang terjadi kita tidak akan menyesal kan? Karena kita sudah berani memilih, kita harus menikmati semua konsekuensi yang akan kita terima, kita harus mengahadapi dengan gagah berani meski sebenarnya nyali kita ciut.

Jadi lilin itu bukan sesuatu yang menyenangkan, iya kan? tetapi ada yang rela memilih seperti itu, Ran. Seperti Makaham, ehh...kapan-kapan aku bikin sejarah sungai yang sudah membelah kota kecilku itu , ya! Bagi Mahakam mampu mengalirkan saja sudah cukup, dia tak sekalipun pamrih atas apa yang ia beri pada kami. Kalo gak ada Mahakam mati kali kami, Ran. Mo minum di mana yok? Mahakam pun tak pernah risau soal muara, Ran! Bagi Mahakam, sejatinya cinta itu adalah perbuatan, itu saja. titik udah gak pake koma lagi. Cinta itu adalah perbuatan....

Meski menjadi lilin, mungkin bukan pilihan yang menyenangkan, paling tidak menjadi lilin adalah pilihan yang hebat, berani, gagah, menerangi dan mencoba memberikan seberkas cahaya meski berupa noktah di gelapnya Malam, meskipun pada akhirnya cahaya itu akan menghancurkan dirinya sendiri. Tapi bukankah karena dan untuk itu lilin ada dan dengan begitu lilin menjadi berarti. Awal tujuan dari dibuatnya lilin adalah untuk itu. Menerangi kegelapan.

wWalau ketika ida menjalankan fungsinya harus merelakan bagian tubuhnya yang perlahan terkikis dan hancur, tapi dia toh sedang menjalankan fungsinya, memberi terang dalam gelap. Entah yang diberi si lilin itu dianggap atau tidak. Tau sendiri kan, standar manusia hari ini apa? he he he..
Kenyataannya Si Lilin sudah berguna meski hilang setelahnya, tapi ada jejak terang yang sudah dia tinggalkan. Apa artinya bila si lilin hanya disimpan di lemari, bisa jadi tubuhnya juga akan hancur jadi sepihan-serpihan oleh waktu. Dan tidak berguna pada akhirnya. Mau hancur tapi berguna, atau diam tapi juga hancur. gitu kali, ya?
he he he...

Hari ini mungkin kita masih jadi "Lilin" yang dapat menyinari orang lain, tetapi kita juga mengorbankan diri sendiri.
atau mau seperti "Bulan" yang dapat menyinari orang lain karena pendaran cahaya Matahari,

Atau pada akhirnya kita bisa menjadi Matahari, yang menyinari orang lain dan juga menerangi diri sendiri, tanpa mengikis..

Silakan dipilih, Ran...

Apapun itu yang kamu pilih, tetap jadi diri kamu sendir, ya! kalau kamu "berubah" aku khawatir nanti aku tak bisa mengenali kamu lagi..




























3 komentar: