Pada
suatu hari, di sebuah sudut taman duniawi, ada serumpun bunga Matahari,
bunga Mawar, bunga Melati, bunga Bangkai, dan bunga Dandelion.
Bunga-bunga
itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Mereka terlonjak oleh kejutan
si embun nakal tapi menyejukkan. Bulir-bulir gutasi seperti kristal yang
terpatri di helaian jubah daun membuat mereka semakin anggun diterpa
sang surya yang perlahan mulai menjagad.
Mereka semua tersenyum menyambut pagi, tersenyum dengan cara mereka masing-masing.
Bunga
Matahari tersenyum dengan sangat lebar. Aku tak mengerti mengapa ia
selalu tersenyum selebar itu, sampai-sampai aku khawatir bibirnya akan
mencuat keluar dari wajahnya. Kenapa ia seceria itu? Apa karena Ia kuning? Atau karena Ia besar dan tinggi? Apa karena Ia bangga disebut-sebut sebagai matahari, si
raja galaksi? Namun, Ia digemari oleh manusia karena bisa menghasilkan
biji-biji yang enak dan gurih. Makhluk-makhluk pengerat pun sangat suka
bersahabat dengannya. Mereka sering memanjati batangnya, bergelantungan
di daunnya, dan bercanda dengan biji-biji gurihnya sampai kekenyangan.
Keramahan dan kedermawanan bunga Matahari membuat koloninya tidak pernah
sepi. Disana, selalu ramai dengan kicauan burung, cekikikan hamster,
tarian semut, dan segala jenis keceriaan lainnya yang membuat mereka
terlihat semakin kuning. Oh, pantas saja…mungkin Ia tersenyum seperti
itu karena Ia berguna.
Bunga
mawar…ya, bunga ini tersenyum. Tapi senyumnya asimetris. Maksudku…sudut
bibirnya hanya diangkat sebelah, namun sudut lainnya tidak. Singkat
kata, tersenyum angkuh. Aku juga tidak mengerti mengapa Ia sesombong
itu, dia pikir dia siapa? Oke, dia sangat cantik, secara bunga Ia sangat
proporsional, mahkotanya begitu menggoda, warna merahnya sangat elegan -
dan tidak kuning. Maksudku, tidak sekuning bunga matahari kalaupun
warnanya kuning. Pokoknya warnanya elegan. Lantas apa? Apa yang
membuatnya Ia begitu angkuh? Apa karena Ia selalu disemayamkan di
jambangan mahal orang-orang kaya? Apa karena Ia selalu berkelimpahan
kasih sayang oleh tuan yang menanamnya? Apa karena Ia suka dipakai para
putri kerajaan untuk mandi bunga? Atau karena Ia suka ikut andil di
dalam cerita negeri dongeng? Menurutku bukan. Tidak sepantasnya hanya
dengan bermodalkan kecantikan dan kemewahan lantas kau bisa sombong.
Pasti ada alasan lain… tunggu dulu! Aku yakin, pasti Ia mempunyai
sesuatu yang tidak dimiliki oleh bunga-bunga lain.
Ya,
duri!! Ia sombong karena Ia bisa melindungi dirinya sendiri. Ia kuat,
berdaulat dan terhormat. Duri itu ibarat pagar imajiner yang menciptakan
ruang teritorialitas yang tidak dapat dimasuki oleh siapa pun. Tidak
semua orang dapat memilikinya. Itu lah bedanya Ia dengan bunga-bunga
cantik lainnya…setidaknya Ia tidak terkesan murahan.
Lalu…bunga
melati, Ia tersenyum samar. Senyumnya nyaris tidak terlihat. Tapi Ia
wangi. Tak apalah bila Ia tidak ingin tersenyum, toh Ia sudah wangi.
Walaupun Ia tidak besar, tidak mencolok, dan tidak berwarna, tapi ia
selalu tahu bagaimana caranya untuk mengundang para kumbang bahkan
manusia sekalipun. Ia seperti malaikat yang begitu polos, begitu manis,
tak berdosa, bahkan kau akan sering menemukannya terangkai indah sebagai
mahkota ibu suri, atau tersemat di rambut para puteri, atau
melilit-lilit di gaun pengantin. Kelakuan bunga Melati yang nrimo
dan pasrah ini kadang membuat dirinya tertekan, tapi ia harus
mempertahankan adat yang turun temurun telah diwarisi oleh nenek moyang
kerajaan Melati. Para bunga Melati didoktrin untuk bersikap layaknya
bunga sejati. Nenek moyang bunga Melati tidak mengajarkan untuk
beraspirasi, itulah sebabnya para bunga ini begitu pendiam.
Aku
akan memberi tahu suatu rahasia kepadamu, sebenarnya di balik tuntutan
adat kramat itu, diam-diam bunga ini senantiasa bernyanyi lirih. Tapi
sayang, kebanyakan lebah-lebah bajingan itu lebih suka mendengung
daripada didengungkan. Tapi betapa pun muaknya sang Melati dengan
kelakuan mereka, terkadang kenaifan adalah kekuatannya. Bagaimana pun,
aku sangat salut dengan kesabaran bunga-bunga ini yang terkekang oleh
tali-temali doktrin.
Bunga bangkai? Ia tersenyum genit.
Di
kalangan para bunga, bunga Bangkai mempunyai status sosial yang kurang
baik. Kenapa? karena sesuai dengan namanya, bunga Bangkai memiliki bau
luar biasa seperti bangkai yang telah membusuk sehingga para bunga
berpikir bahwa si bunga Bangkai telah menodai eksistensi bunga yang
senantiasa dikaitkan dengan keharuman dan simbol cinta. Namun di lain
sisi, para bunga Bangkai ini memang tinggi, besar, mencolok, dan
langka. Tidak heran Ia sangat diburu oleh para kumbang dan sejenisnya,
tapi aku tidak yakin apakah bunga itu diburu karena bentuk fisiknya yang
emphasis atau karena kebergunaannya.
Lagi-lagi
si bunga Bangkai tersenyum genit. Ia melakukan berbagai cara untuk
menarik perhatian para lalat penyerbuk. Aku pikir, sepertinya bunga
bangkai itu hanya bagus untuk dilihat, tapi tidak untuk didekati…karena
kumbang, lebah, bahkan lalat yang sekalipun gemar dengan hal-hal yang
bau ketika mencoba mendekati, melulu terperangkap lalu terperosok ke
lendir beracun itu hingga mati karena baunya. Namun aku heran, tidak
peduli berapa banyak korban yang berjatuhan, sepertinya kumbang, lebah,
dan lalat...mereka tidak jera-jeranya datang mendekati bunga bangkai
seolah-olah sengaja untuk “menikmati bau”nya.
Bagaimana
dengan bunga dandelion? Si bunga rumput itu…Ia tidak tersenyum,
melainkan tertawa terbahak-bahak. Mungkin bagi para melati, hal ‘tidak
pantas’ dan tidak berperi-kebungaan. Tapi siapa peduli? Para bunga
dandelion itu sangat menikmati cara mereka tertawa, tergelak, dan
berteriak "yuhuuuuuu!" ketika anak-anak iseng meniup kelopak mereka yang
ringan, menceraiberaikan serpihan-serpihan putih dan menggundulkan
putik mereka, lalu bulu-bulu putih itu menari dengan angin, mereka tidak
akan pernah berhenti menari sebelum menemukan rintangan yang dapat
memberhentikan tarian itu, mereka menikmati kemana angin berhembus
walaupun mereka tak tahu kemana mereka akan dibawa pergi. Dan ketika
mereka mendarat di tanah, mereka akan menjadi pionir bak lychenes
yang mempelopori suksesi kehidupan, mereka akan membentuk koloni baru
disana, dan terbukti mereka mempunyai mental baja karena mereka dapat
beradaptasi di kondisi yang ekstrem sekalipun.
Tahukah
kau darimana para dandelion itu berasal? Mereka tumbuh pertama kali di
daratan Eropa dan Asia, tapi kini kau bisa melihat mereka bertebaran
dimana-mana di penjuru bumi manapun, itu karena mereka bisa terbang
melintasi apapun, bahkan jeram samudra sekalipun.
Ditengah
semerbak persaingan para bunga mengeluarkan aroma wanginya dan kemilau
warna-warni kelopaknya yang membelai mata, munculah para dandelion
dengan segala kesederhanaannya di semak dan perdu liar.
Mereka
tak keberatan jika teman-teman mereka yang lain diambil dan ditaruh di
jambangan-jambangan mahal seperti si mawar yang elegan itu. Mereka tidak
mau menukar kebebasan mereka, tarian angin mereka, atau bahkan takdir
hidup yang menggariskan mereka untuk mencari segala sesuatunya dari
alam sendirian, karena sampai detik ini pun, mana ada manusia bodoh yang
akan memberi mereka pupuk, vitamin, atau pestisida yang baik untuk
tumbuh kembang mereka, melainkan mereka harus mencari itu semua langsung
dari alam - sendirian. Mereka tidak akan mau menukar itu semua dengan
menghabiskan sisa hidup mereka di jambangan mahal sekalipun.
Bunga dandelion tidak wangi tapi mereka punya kecantikan tersendiri.
Kini, bunga-bunga itu… Matahari, Mawar , Melati, bunga Bangkai dan Dandelion tengah bercengkrama menikmati hari. Walaupun
mereka punya skenario hidup masing-masing, namun hanya diri mereka
sendiri yang dapat menentukan senyuman macam apa yang akan mereka
sunggingkan.
***
Anak
itu mendengarkan cerita negeri para bunga dengan tak mengeluarkan
sepatah kata pun. Tapi matanya tak berkedip, seolah menunggu kata demi
kata yang dilantunkan kakaknya.
“Kau
tahu, pahlawan itu tidak harus melulu berperang melawan penjajah
imperialisme atau melawan monster menjijikan untuk menyelamatkan seluruh
penduduk bumi…jika kau tidak bisa seheroik itu, tak apa, tapi
setidaknya, kau harus bisa menjadi pahlawan bagi dirimu sendiri. Selamatkan
hidupmu, dik. Dalam kondisi sesulit apa pun, se-ekstrim apapun, kita
harus selalu bisa bertahan! Seperti para bunga dandelion ini…” Sang
kakak menggenggam sekuntum bunga dandelion, perlahan Ia meniupkan angin
dengan sangat lembut, menceraiberaikan bola putih itu menjadi serpihan
salju yang lantas menari dengan angin. Mereka berdua menyaksikan
serpihan itu yang terbang kian menjauh, keluar dari gerbong kereta lapuk
yang sudah bertahun-tahun tidak pernah digunakan, itu lah tempat mereka
bernaung selama ini. Di luar hujan sangat deras, namun tidak mampu
menjernihkan udara yang terkontaminasi kepul asap hitam. Deras hujan
menghantam-hantam atap besi gerbong karatan, tidak mampu meredam bunyi
desingan senjata api yang meletup-letup tiada akhir. Mesin-mesin
penghancur berderu-deru meratakan seluruh bangunan yang ada satu
kilometer dari tempat dimana mereka bernaung.
Di
sebelah pelantun dongeng bunga itu, terbaring tubuh mungil tak
bertenaga. Kakinya terkulai lemah, sedangkan kedua tangannya sedari tadi
memegangi perutnya yang membusung. Matanya masih tidak berkedip
memikirkan dongeng yang baru saja berakhir. Dongeng pengantar tidur itu
sukses membuat ia menyunggingkan senyumnya.
Sore
itu begitu senyap. Si adik kecil sudah tak bersuara selama dua hari
ini. Ia harus menghemat tenaganya karena sudah lewat satu minggu Ia
belum makan apa-apa. Peperangan membuat kota itu lumpuh dan rata, tidak
menyisakan sedikit pun untuk diais-ais.
Sang kakak masih mengelus sayang rambut adiknya agar ia cepat terlelap melewati hari seperti ini satu kali lagi.
Perlahan adiknya terlelap. Namun kali ini begitu damai.
“Besok
aku akan mencarikan makanan untukmu, dik. Bertahan lah…” Dadanya sesak
menahan sedih, matanya memanas, satu tetes, dua tetes…
Si adik tersenyum damai, untuk selamanya.
Kali ini, Ia tidak dapat menahan tangisnya yang memecah, lalu meradang tersedu-sedu.
***
http://gita-a44070022.blogspot.com/2011/03/senyuman-bunga-matahari-bunga-mawar.html#comment-form
Tidak ada komentar:
Posting Komentar